Fakta Tentang Cuti Melahirkan 6 Bulan dan UU KIA Untuk Ibu Bekerja
Bak angin segar bagi ibu bekerja, kini cuti melahirkan telah berlaku selama 6 bulan. Cuti melahirkan 6 bulan ini menjadi salah satu isu yang telah lama dinantikan sejak lama oleh banyak pekerja wanita yang telah menikah.
Pasalnya, pada Selasa (4/6) lalu, DPR telah resmi mengesahkan Undang-Undang Kesejahteraan Ibu dan Anak atau UU KIA dalam rapat paripurna RI.
Lalu apa saja fakta mengenai cuti melahirkan 6 bulan dan UU KIA ini? Simak di bawah ini
Daftar Isi
ToggleCuti Melahirkan Menurut UU Ketenagakerjaan
Jika melihat ke UU No 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, cuti melahirkan bagi pekerja perempuan telah diatur dalam pasal 82 yaitu:
“Pekerja/buruh perempuan berhak memperoleh istirahat selama 1,5 (satu setengah) bulan sebelum saatnya melahirkan anak dan 1,5 (satu setengah) bulan sesudah melahirkan menurut perhitungan dokter kandungan atau bidan.”
Sehingga jika diakumulasi, cuti melahirkan bagi pekerja perempuan adalah 3 bulan. Hal ini juga berlaku bagi pekerja yang mengalami keguguran kandungan.
Tetapi di beberapa perusahaan, karyawan diberikan kesempatan untuk mengambil cuti bersalin baik mengambil sebelum dan sesudah melahirkan atau sesudah melahirkan saja. Hal ini diperbolehkan asalkan selama durasi cuti yang diambil tetap 3 bulan.
Sebagai informasi, cuti melahirkan adalah hak yang diterima oleh karyawan perempuan yang sedang hamil. Sebuah perusahaan wajib memberikan cuti tersebut terutama menjelang persalinan.
Jika perusahaan tidak memenuhi hak karyawannya atas cuti melahirkan ini, maka perusahaan tersebut melanggar peraturan. Sehingga perusahaan bisa dikenakan sanksi pidana yang mana paling singkat 1 tahun hingga 4 tahun. Selain itu, perusahaan juga akan dikenakan sanksi berupa denda.
RUU KIA
Meskipun UU Ketenagakerjaan telah menetapkan bahwa cuti bersalin adalah 3 bulan, namun hak cuti ini dirasa perlu ditingkatkan. Hal ini karena timbul berbagai permasalahan seperti tingginya angka kematian ibu dan anak saat melahirkan, angka kematian bayi yang baru lahir, hingga kasus anak stunting.
Sementara itu, fase 1.000 hari pertama kehidupan (HPK) seorang anak merupakan masa paling emas yang dimana membutuhkan banyak perhatian oleh ibu demi pertumbuhan dan kesehatan anak.
Selain itu, jaminan mengenai ibu melahirkan tidak diperbolehkan diberhentikan dari pekerjaannya juga diatur dalam RUU ini. Dan ibu yang mengambil cuti hamil harus tetap memperoleh gaji dan hak karyawan dari perusahaan tempat bekerja.
Oleh karena itu, Komisi VIII DPR RI menyusun Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Kesejahteraan Ibu dan Anak (KIA) pada Fase Seribu Hari Pertama Kehidupan yang telah dirancang sejak 2022 lalu.
Dengan RUU KIA bertujuan untuk memperjuangkan sejumlah hak yang seharusnya diterima oleh para ibu yang bekerja. Hak tersebut antara lain seperti jaminan kesehatan saat kehamilan, fasilitas sarana dan prasarana bagi ibu hamil, hingga cuti melahirkan.
Tujuan dari RUU KIA ini juga guna untuk menciptakan generasi emas penerus bangsa yang nantinya akan berkontribusi untuk negara Indonesia.
UU KIA Resmi Sah!
Setelah penantian panjang, akhirnya RUU KIA disepakati untuk disahkan dalam Rapat Pembahasan Tingkat II Sidang Paripurna Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) pada Selasa (4/6).
Menurut Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA), Bintang Puspayoga mengatakan, RUU ini merupakan wujud kehadiran Negara dalam meningkatkan kesejahteraan ibu dan anak sebagai sumber daya manusia dan generasi penerus bangsa yang unggul di masa depan.
RUU tentang KIA pada Fase Seribu Hari Pertama Kehidupan terdiri atas 9 (sembilan) bab dan 46 pasal yang di antaranya mengatur hak dan kewajiban, tugas dan wewenang, penyelenggaraan kesejahteraan ibu dan anak, data dan informasi, pendanaan, dan partisipasi masyarakat.
Kini RUU KIA telah sah menjadi UU KIA dan berlaku bagi ibu hamil yang bekerja. Hal ini mencakup tentang cuti melahirkan 6 bulan.
Syarat Cuti Melahirkan 6 Bulan
Pemberian cuti melahirkan 6 bulan merupakan bagian dari upaya untuk meningkatkan kesejahteraan ibu dan anak seperti yang telah tercantum oleh UU KIA.
Harapan dari cuti bersalin selama 6 bulan yang dianggap lebih panjang dari ketetapan UU Ketenagakerjaan sebelumnya diharapkan dapat memberi waktu yang cukup dalam pemulihan fisik dan mental setelah melahirkan. Selain itu, tujuan cuti melahirkan ini juga untuk merawat bayi yang baru lahir.
Lalu apa saja syarat cuti melahirkan 6 bulan bagi pekerja perempuan? Berikut adalah pemaparannya.
Menurut Pasal 4 Ayat 3 UU KIA disebutkan bahwa setiap ibu bekerja berhak mendapatkan cuti melahirkan paling sedikit 3 bulan pertama dan paling lama 3 bulan berikutnya dengan kondisi khusus yang dibuktikan dengan surat keterangan dokter.
Merujuk Pasal 4 ayat (5), kondisi yang dimaksud pada ayat (3) mencakup ibu yang mengalami:
- Masalah kesehatan
- Gangguan kesehatan, dan/atau
- Komplikasi pascapersalinan atau keguguran.
Selain ibu, cuti melahirkan 6 bulan juga bisa diberikan apabila bayi yang dilahirkan oleh ibu pekerja mengalami masalah kesehatan, gangguan kesehatan, dan/atau komplikasi.
Untuk mendapatkan perpanjangan cuti dari 3 bulan menjadi 6 bulan, ini harus diberikan oleh pemberi kerja sesuai dengan Pasal 4 Ayat 4.
Sehingga, cuti melahirkan tetap 3 bulan namun ibu pekerja bisa mengajukan cuti tambahan 3 bulan selanjutnya bila mengalami kondisi khusus seperti yang telah disebutkan di atas.
Beberapa Poin Penting UU KIA
Selain mengatur cuti melahirkan 6 bulan, ada beberapa poin penting lainnya terkait UU KIA demi kesejahteraan ibu dan anak yaitu:
Perubahan Judul
Adanya perubahan judul dimana awal mulanya adalah “RUU tentang KIA” menjadi “UU tentang KIA pada Fase Seribu Hari Pertama Kehidupan (HPK)”.
Definisi Anak Dalam RUU KIA
Dalam hal ini, disebutkan Fase Seribu Hari Pertama Kehidupan (HPK) seorang anak adalah dimulai dari terbentuknya janin dalam kandungan sampai usia dua tahun.
Tidak Boleh Diberhentikan
Dalam UU KIA disebutkan bahwa setiap ibu yang bekerja yang mengambil hak cuti melahirkan tidak dapat diberhentikan dari pekerjaannya.
Upah Bagi Karyawan Yang Mengambil Cuti Melahirkan
Poin lainnya yang tercantum dalam UU KIA yakni para ibu yang bekerja juga berhak mendapatkan upah secara penuh untuk tiga bulan pertama dan bulan keempat.
Suami Mendapatkan Cuti Ketika Istri Melahirkan
Tidak hanya istri saja, suami juga mendapatkan cuti untuk mendampingi istri melahirkan. Dalam UU ini disebutkan bahwa suami mendapatkan cuti selama 2 hari.
Selain itu, suami dapat diberikan tambahan 3 hari berikutnya atau sesuai dengan kesepakatan pemberi kerja.
Namun jika istri mengalami keguguran, maka suami hanya berhak mendapatkan cuti selama 2 hari.
Jaminan Pemerintah Bagi Ibu Hamil
Poin lainnya yang tercantum adalah jaminan pemerintah bagi ibu hamil dimana pemerintah Pusat maupun Daerah wajib memberikan jaminan. Jaminan yang dimaksud meliputi perencanaan, monitoring, hingga evaluasi saat 1.000 HPK anak.
Hal ini berlaku bagi seluruh ibu hamil termasuk yang memiliki kerentanan khusus, seperti:
- Ibu yang berhadapan dengan hukum
- Ibu di lembaga pemasyarakatan
- Ibu di penampungan
- Ibu yang berada dalam situasi konflik dan bencana
- Ibu tunggal korban kekerasan
- Ibu dengan HIV/AIDS
- Ibu di daerah tertinggal terdepan dan terluar
- Ibu dengan gangguan jiwa
- Ibu difabel
Penutup
Kini sudah mengerti bukan tentang fakta cuti melahirkan 6 bulan bagi ibu bekerja? Hak cuti melahirkan 6 bulan ini berlaku bagi ibu yang mengalami kondisi khusus seperti gangguan kesehatan atau komplikasi pasca persalinan.
Meskipun begitu, UU KIA kini telah disahkan dan berlaku bagi para pekerja perempuan yang sedang hamil. Diharapkan UU KIA ini bisa diterapkan di semua perusahaan dan instansi terkait demi kesejahteraan ibu dan anak.
Seperti yang diketahui juga, cuti melahirkan bersifat wajib diberikan oleh pemberi kerja. Untuk memudahkan pengajuan cuti melahirkan, penggunaan aplikasi HRD bisa membantu efisiensi HR dalam mengelola cuti karyawan. Fortius HRIS bisa menjadi solusi dalam pengajuan, persetujuan hingga rekapan cuti karyawan termasuk cuti melahirkan.
Nantikan informasi insightful lainnya di Blog Fortius HRIS!